Pola Pelayanan Bimbingan dan Konselin di Sekolah

MAKALAH
POLA PELAYANAN BIMBINGAN DAN
KONSELING DI SEKOLAH

Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Bimbingan Konseling


NAMA KELOMPOK :

1. WITA RETNO LUKITASARI ( 7101409058)
2. MEITA LUSIANTI(7101409297)
3. AHMAD AHSAN K.A. ( 7101409046)
4. HANIKA HERMAWAN ( 3101408086)
5. HIDAYAT NURSETA ( 6101409123)
6. AGUS JOKO PURNOMO ( 5201409109)
7. VIDHA YUDHA ARISTA ( 6101409044)


Universitas Negeri Semarang
2010


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nyasehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Bimbingan Konseling. Dengan adanya makalah ini, diharapkan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis untuk memperluas wawasan.
Tidak lupa, penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Semoga makalah ini dapat dapat bermanfaat bagi pembaca. Meskipun penulilam penulisan makalah ini masih terdapat kekurangan maka kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penilis harapkan.




Penulis







BAB I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG
Aktifitas di sekolah, siswa memerlukan bimbingan bukan hanya sekedar pembelajaran. Rekan siswa untuk menjadi pembimbing yang paling baik dan efektif adalah guru mata pelajaran. Namun tentu saja untuk mendapatkan hasil siswa yang di bimbing dengan benar. Guru mata pelajaran harus mempunyai pengetahuan tentang pola pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah. Ini dimaksudkan untuk dapat membimbing anak kearah yang lebih optimal dan tidak sembarangan.

Dengan adanya bab mengenai pola pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah ini. Mahasiswa jadi benar-benar paham cara memposisikan diri dalam bimbingan di sekolah pada anak didiknya kelak. Mata kuliah ini dimaksudkan membekali mahasiswa sebagai calon guru sekolah menengah untuk mampu menyelenggarakan pembelajaran yang membimbing dan memberikan pelayanan dasar-dasar bimbingan sesuai dengan kewenanganya. Sehingga untuk menunjang pembekalan untuk mahasiswa itu. Pembahasan dilakukan tentang model-model bimbingan dan konseling, pola dasar bimbingan, dan pendekatan atau strategi dasar. Pelayanan bimbingan di lembaga pendidikan formal terlaksana dengan mengadakan sejumlah kegiatan bimbingan. Seluruh kegiatan itu terselenggarakan dalam rangka suatu program bimbingan (guidance program), yaitu suatu rangkaian kegiatan bimbingan yang terencana, terorganisasi, dan terkoodinasi selama periode waktu tertentu, misalnua satu tahun ajaran. Suatu program bimbingan dapat disusun berdasarkan suatu kerangka berpikir tertentu, dan pola dasar pelaksanaan bimbingan tertentu. Kegiatan bimbingan mencakup tiga jenis bimbingan, yaitu bentuk bimbingan, sifat bimbingan, dan ragam bimbingan, yang masing-masing memberikan corak tertentu pada kegiatan yang tertampung dalam suatu program bimbingan. Di dalam program bimbingan terdapat beberapa komponen, yang meliputi susunan saluran formal untuk melayani para siswa, tenaga-tenaga pendidik yang lain, serta orang tua siswa, mengingat adanya beberapa jenjang pendidikan sekolah, yang masing-masing menampung siswa dari golongan umur dan tahap perkembangan tertentu, program bimbingan di semua jenjang pendidikan itu akan menunjukkan berpikir dan pola dasar pelaksanaa; dalam tekanan yang diberikan pada bentuk, sifat atau ragam bimbingan tertentu; dan mungkin pula dalam mengutamakan atau tidak mengutamakan satu-dua komponen tertentu dalam perencanaan serta penyelenggaraan program bimbingan.


B. RUMUSAN MASALAH

• Model-model bimbingan dan konseling apa yang baik untuk bekal mahasiswa nantinya ?
• Pola dasar bimbingan apakah yang efektif untuk mahasiswa pelajari?
• Apa sajakah pola-pola bimbingan yang baik untuk pelayanan bimbingan di institusi pendidikan ?
• Apa saja pendekatan dan strategi dasar guna pembekalan bagi mahasiswa ?


C. TUJUAN

• Untuk mengetahui model-model Bimbingan dan konseling dalam institusi pendidikan.
• Untuk mengetahui pola-pola dasar pelayanan bimbingan dalam institusi pendidikan.
• Untuk mengetahui pendekatan atau strategi dasar apa yang digunakan dalam Bimbingan danKonseling.




BAB II
ISI

POLA PELAYANAN BIMBINGAN DANKONSELING DI SEKOLAH

A. Model-model Bimbingan dan Konseling dan Pola Dasar Bimbingan

Pelayanan Bimbingan Konseling di lembaga pendidikan formal diselenggarakan dalam rangka suatu program bimbingan yaitu suatu rangkaian kegiatan bimbingan yang terencana, terorganisir dan terkoordinasi selama periode waktu tertentu. Suatu program bimbingan dddann konseling dapat disusun dengan berdasarkan pada suatu kerangka berfikir dan pola dasar pelaksanaan tertentu.
Model-model bimbingan dan konseling dan pola dasar bimbingan bermula dari gerakan bimbingan dan konseling di Amerika yang dikembangkan di sejumlah kerangka pikir yang menjadi pedoman dan pegangan dalam pelayanan di sekolah-sekolah. Istilah Model menurut Shertzer dan Stone (1981) yaitu suatu konseptualisasi yang luas, bersifat teoritis namun belum memenuhi semua persyaratan bagi suatu teori ilmiah. Metode-metode itu dikembangkan oleh orang tertentu untuk menghadapi tantangan yang timbul dalam kehidupan masyarakat dan lingkungan pendidikan sekolah di AS.

1. Frank Parsons menciptakan istilah Vocational Guidance yang menekankan ragam jabatan bimbingan dengan menganalisis diri sendiri, analisis terhadap bidang pekerjaan, serta memadukan keduanya dengan berfikir rasional dan mengutamakan komponen bimbingan pengumpulan data serta wawancara konseling. Menurut pandangan Parsons, baik individu maupun masyarakat akan mendapatkan keuntungan, jika terdapat kecocokan antara cirri-ciri kepribadian seseorang dan seluruh tuntutan bidang pekerjaan yang dipegang oleh orang itu. Tiga factor utama dianggap sangat menentukan dalam memilih suatu bidang pekerjaan, yaitu analisis pada diri sendiri (kemampuan dan bakat, minat, serta temperamen), analisis terhadap pekerjaan (kesempatan, tuntutan, dan prospek masa depan), serta perbandingan antara hasil kedua analisis tadi untuk menemukan kecocokan antara data tentang diri sendiri dan data tentang bidang-bidang pekerjaan (mengadakan matching dengan berpikir rasional). Mengingat banyak orang muda akan mengalami kesulitan dalam meninjau ketiga factor utama itu, maka mereka membutuhkan dari seseorang yang lebih berpengetahuan dan lebih berpengalaman dalam hal ini. meskipun pandangan Frank Parson menunjukkan unsure kelemahan, misalnya kurang diperhitungkan pengaruh motivasi, nilai-nilai kehidupan dan lapisan social ekonomis, namun tekanan dalam penekanan diri dan pelayanan dari seorang ahli dalam bimbingan jabatan merupakan sumbangan yang sangat berharga bagi perkembangan pelayanan bimbingan selanjutnya. Dengan demikian, model ini menekankan ragam bimbingan, jabatan, dan mengutamakan komponen bimbingan pengumpulan data serta wawancara konseling.

2. William M. Proctor, (1925) mengembangkan model bimbingan mengenalkan dua fungsi yaitu fungsi penyaluran dan fungsi penyesuaian menyangkut bantuan yang diberikan kepada siswa dalam memilih program studi, aktivitas ekstra-kurikuler, bentuk rekreasi, jalur persiapan memegang sesuai dengan kemampuan, bakat, minat dan cita-cita siswa. Fungsi penyesuaian menyangkut bantuan yang diberikan siswa dalam melaksanakan secara konsisten dan konsekuen pilihan yang telah mereka buat, seandainya timbul kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan beraneka tuntutan dalam lingkungan atau dalam bidang kehidupan tertentu. Dengan demikian, model ini menekankan sifat bimbingan perseveratif, yang mendampingi siswa dalam perkembangannya yang sedang berlangsung, dan mengutamakan bimbingan pengumpulan data, wanwancara konseling. Namun, kelemahan model ini terletak dalam pandangan, bahwa pelayanan bimbingan hanya perlu diberikan pada saat siswa menghadapi masalah.

3. John M. Brewer, (1932) mengembangkan ragam bimbingan seperti bimbingan belajar, bimbingan rekreasi, kesehatan, bimbingan miral dan perkembangan. menerbitkan buku Educational as Guidance berpendapat bahwa tugas pendidikan sekolah adalah mempersiapkan siswa untuk mengatur bidang kehidupan sedemikian rupa, sehingga bermakna dan memberikan kepuasan, seperti bidang kesehatan, bidang kehidupan keluarga, bidang pekerjaa, bidang rekreasi, bidang perluasan pengetahuan dan bidang kehidupan bermasyarakat. Pendidian dan bimbingan dianggap tidak jauh berbeda, karena keduanya berfungsi sebagai bantuan kepada generasi muda dalam belajar seni hidup sebagai pribadi dan anggota masyarakat. Melalui berbagai kegiatan pendidikan dan bimbingan siswa memperoleh pengetahuan dan kebijaksanaan yang diperlukan mengatur kehidupannya sendiri dalam berbagai aspeknua, model ini menekankan ragamnya bimbingan yang diberikan, seperti bimbingan belajar, bimbingan rekreasi, kesehatan, moral dan bimbingan perkembangan; maka tidak hanya mengenal ragam bimbingan jabatan. Komponen pembirian informasi dan wawancara konseling diutamakan. Namun, kelemahan model ini terletak dalam pandangan bahwa pendidikan dan bimbingan tidak jauh berbeda fungsinya; dan bahwa pelayanan bimbingan untuk sebagian besar dituangkan dalam bentuk suatu pelayanan yang berkisar pada materi pelayanan seperti berlaku pada segala bidang studi akademik.

4. Donal G. Patterson, (1938) mengembangan metode klinis (clinical method). Metode ini menekankan perlunya menggunakan teknik ilmiah untuk mengenal konseli dengan lebih baik dan menentukan segala problem yang dihadapi oleh konseli, misalnya dengan menggungakan tes psikologis dan studi diagnostic. Yang dibutuhkan ialah data obyektif, yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan memberikan gambaran tentang konseli, lepas dari pandangan konseli tentang diri sendiri. Model ini sebenarnya menyangkut satu komponen dalam program bimbingan saja yaitu konseling. Layanan konseling hanya dipegang oleh tenaga bimbingan yang ahli dalam menggunakan teknik analisis ilmiah, terutama tes psikologis. Konselor bertanggungjawab penuh atas pilihan alat-alat diagnostic yang menghasilkan data bagi konseli tentang dirinya sendiri. Model ini menekankan bentuk bimbingan perseceratif, serta memberikan tekanan pada komponen bimbingan penempatan, pengumpulan data, dan wawancara konseling. Kelemahan model ini terletak pada pelayanan bimbingan cenderung dibatasi pada saat tertentu saja dan diberikan kepada siswa-siswi tertentu, yaitu mereka yang menghadapi suatu masalah berat dan akan menghadap konselor sekolah.

5. Wilson Little dan AL. Champman, (1955) mengembangkan bimbingan yang dikenal dengan nama bimbingan perkembangan (development guidance). Model ini menekankan perlunya memberikan bantuan kepada semua siswa dalam aspek perkembangan siswa dalam bidang studi akademik dalam mempersiapkan diri memangku suatu jabatan dan dalam mengolah pengalaman batin serta pergaulan sosial. Model ini memanfaatkan bentuk pelayanan individual dan kelompok, mengutamakan sifat bimbingan preventif dan preserveratif dan melayani bimbingan belajar, jabatan dan bimbingan pribadi. Maka, focus perhatian terpusat pada perkembangan optimal dari peserta didik yang sedang menuju kekedewasaan. Perkembangan yang optimal itu dapat dicapai bila siswa mengenal diri sendiri, menghayati seperangkat nilai kehidupan, menyadari keadaan nyata dalam lingkungan hidupnya. Namun kemandirian pribadi dan kemampuan untuk menimbang kondisi kehidupan dalam lingkup lingkungan kongkrit tetap diutamakan, dengan menerima kemungkinan orang muda dapat berubah selama proses perkembangannya. Model ini memanfaatkan bentuk pelayanan individu dan kelompok, mengutamakan sifat bimbingan preventif dan perseveratif, serta melayani siswa melalui bimbingan belajar, bimbingan jabatan, dan bimbingan pribadi. Keunggulan model ini ialah sumbangan dalam pelayanan bimbingan yang diberikan oleh semua tenaga pendidik yang bekerja sama sebagai tim yang melakukan sejumlah kegiatan bimbingan yang dirancang untuk menunjang perkembangan optimal dari semua siswa dalam kurun waktu yang sama. Kelemahan model ini terletak dalam kenyataan, bahwa tidak semua anggota staf pendidik sekolah siap pakai untuk memberikan pelayanan bimbingan. Merencanakan dan melaksanakan program bimbingan yang sedimikian komprehensif dan meresapi seluruh program pendidikan sekolah, menjadi usaha yang sangat kompleks yang melibatkan banyak orang, dalam kenyataan akan sukar dilaksanakan di lapangan.

6. Kenneth B. Hoyt, (1962) yang mendeskripsikan model bimbingan mencakup sejumlah kegiatan bimbingan (constellation) dalam rangka melayani kebutuhan siswa di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Model ini menekankan pelayanan individual dan kelompok dan memungkinkan pelayanan yang bersifat preventif, preserveratif dan remedial dan mengutamakan ragam bimbingan belajar dan pribadi. Dalam pola ini ditekankan pada bahwa tenaga pendidik di sekolah seharusnya berpartisipasi dalam pelaksanaan dalam program bimbingan, bukan hanya tenaga bimbingan atau konselor sekolah saja, bahwa konselor sekolah memikul tanggungjawab utama atas perencanaan dan pelaksanaan program bimbingan, yang tidak hanya meliputi layanan konseling saja. Pelayanan bimbingan berhasil kalau tujuan pelayanan bimbingan terintegrasikan pada tujuan institusional, kurikuler, dan instruksional. Seorang konselor sekolah memiliki keahlian khusus yang tidak dimiliki oleh tenaga-tenaga pendidik yang lain dalam hal :
a) Penggunaan beraneka teknik dan alat untuk memperoleh data yang relevan tentang siswa dan dalam menafsirkan data itu;
b) Penyebaran ingormasi yang relevan dan tepat tentang variasi program studi lanjutan serta variasi bidang pekerjaan;
c) Penggunaan berbagai metode konseling dan aneka teknik konseling;
d) Diagnosis kasus khusus yang menuntut konsultasi dengan seorang ahli lain di luar lingkungan sekolah (referral);
e) Penerapan metode dan teknik khusus untuk bimbingan kelompok;
f) Kemampuan mengadakan riset tentang kebutuhan-kebutuhan siswa dan melakukan studi evaluative tentang keberhasilan program bimbingan. Konselor sekolah melayani para siswa secara langsung (kontak langsung dengan siswa), namun juga melayani rekan tenaga pendidik yang lain sebagai narasumber (konsultan) demi peningkatan mutu dan efektivitas program pendidikan di sekolah. Model ini menekankan pelayanan bimbingan sebagai usaha yang melibatkan semua tenaga pendidik, menurut fungsi dan wewenang masing-masing; mengenal bentuk pelayanan bimbingan individual dan kelompok; memungkinkan pelayanan bimbingan preventif, perseveratif dan remedial; dan mengutamakan bimbingan belajar dan bimbingan pribadi. Keuntungan model ini ialah pelayanan bimbingan tidak hanya terbatas pada layanan konseling dan tanggungjawab untuk menunjang perkembangan siswa serta taraf kesehatan mental tidak hanya dibebankan pada tenaga bimbingan professional saja. Kelemahan terletak dalam anggapan, bahwa bidang bimbingan terutama diperlukan membantu siswa dalam mengatasi beraneka kesulitan belajar dengan demikian tujuan yang khas dari pelayanan bimbingan menjadi agak kabur.

7. Ruth Strabf, (1964) yang berpandangan menyangkut bimbingan melalui wawancara konseling. Eklektis berarti memilih, yaitu memilih diantara teori, metode dan teknik yang dikembangkan sesuai kebutuhan konseli untuk diterapkan dalam mengatasi masalah tertentu. Konselor harus mengetahui keunggulan dan kelemahan dari berbagai teori, metoden dan teknik sehingga dapat menerapkannya secara fleksibel. Model ini menekankan bentuk pelayanan individu dan pelayanan secara kelompok dan mengutamakan komponen bimbingan pengumpulan dan wawancara konseling. Pandangan ini lebih menyangkut pelayanan bimbingan melalui wawancara konseling. Diasumsikan bahwa siswa dan mahasiswa dari waktu kewaktu membutuhkan bantuan professional dalam memahami diri sendiri dalam mengatasi masalah tertentu melalui bantuan itu mereka mendapat informasi tentang diri sendiri dan realitas lingkungan, yang kiranya sulit mereka peroleh dengan cara lain.

8. Arthur J. Jones, (1970) menekankan pelayanan bimbingan sebagai bantuan kepada siswa dalam membuat pilihan-pilihan dan dalam mengadakan penyesuaian diri. Bantuan itu terbatas pada masalah-masalah yang menyangkut bidang studi akademik dan bidang pekerjaan. Bimbingan adalah intrvensi professional bilamana siswa harus membuat pilihan diantara beraneka alternative program studi dan bidang pekerjaan yang terbuka baginya. Nilai-nilai kehidupan (values) menjadi factor penting dalam membuat pilihan. Pada awal masa pendidikan menengah dan pada akhir masa itu siswa menghadapi saat dia harus membuat setumpuk pilihan (decision making) yang berarti dimasa yang akan datang, petugas bimbingan harus membantu siswa dalam membuat pilihan, dengan mempertimbangkan system nilai yang dianutnya dan mengolah informai yang tersedia tentang diri sendiri serta kesempatan-kesempatan terbuka baginya. Supaya siswa berpikir secara rasional; karena kaum muda kurang mampu mengambil keputusan penting, maka dibutuhkan bantuan seorang ahli bimbingan yang bekerja sebagai tenaga tetap di lembaga pendidikan sekola. Model ini juga menekankan bentuk pelayanan individu mengutamakan ragam bimbingan belajar serta bimbingan jabatan dan memberi tekanan pada komponen bimbingan penempatan pengumpulan data serta wawancara konseling. Kelemahan yang paling mencolok dalam model ini ialah pembatasan pelayanan bimbingan pada saat-saat tertentu saja, bila siswa harus membuat suatu pilihan yang menentukan jalan kehidupannya.

9. Chris D. Kehas, (1970) mengembangkan guidance as personal development. Model ini merumuskan tujuan pendidikan di sekolah, memberikan tekanan pada perkembangan kepribadian peserta didik, tetapi di lapangan hanya aspek intelektual yang diperhatikan. Dengan demikian tenaga-tenaga bimbingan hanyalah berfungsi dalam rangka meningkatkan efektivitas proses belajar mengajar di kelas. Dengan kata lain, bimbingan adalah usaha yang menunjang bidang pengajaran saja (amcillary service to make instruction more effective). Kehas memperjuangkan supaya pendidikan sekolah dipandang sebagai usaha mendampingi siswa dalam belajar. Belajar tidak hanya mencakup belajar di bidang akademik, tetapi tentand diri sendiri dan lingkungan hidup. tenaga pendidik tidak hanya guru, melainkan masing-masing tenaga pendidik bertugas mendampingi siswa dalam aspek perkembangan dan dimensi belajar tertentu. Dengan demikian, siswa mempunyai relasi dengan pihak tenaga pendidik berbeda-beda sifat, misalnya guru sebagai pendamping dalam belajar akademik, dan tenaga bimbingan sebagai pendamping dalam belajar tentang kepribadiannya sendiri. Konselor sekolah berfokus pada perkembangan kepribadian siswa dalam keseluruhannya (personal development). Maka, tenaga bimbingan bukan berfungsi sebagai asisten tenaga pengajar, melainkan mempunyai peranannya sendiri. Tenaga pendidik tidak berada di bawah yang lain, melainkan saling melengkapi dalam rangka bekerja sama menurut fungsinya masing-masing. Model ini menekankan bentuk, jenis, atau ragam bimbingan tertentu, dan tidak mengutarakan komponen bimbingan tertentu, melainkan mengeksplisitkan fungsi dasar bimbingan di sekolah, yaitu proses membantu orang-perorangan untuk memahami diri sendiri dan lingkungan hidupnya. Keunggulan model ialah menciptakan kemungkinan untuk merumuskan secara spesifik apa peranan guru (tenaga pengajar) dan apa peranan konselor sekolah terhadap belajar siswa. Kelemahan model ini menyangkut hubungan kerja sama antara tenaga pengajar dan tenaga bimbingan yang kerap belum jelas sebaiknya diwujudkan; disamping itu, timbul bahaya bahwa anak didik akan dibelah-belah atas sekian bagian, dimana guru bertanggung jawab atas perkembangan intelektual siswa saja dan konselor sekolah akan bertanggungjawab atas aspek-aspek perkembangan yang lain.

10. Ralp Moser dan Norman A. Srinthall, (1971) mengajukan usul supaya di sekolah diberi pendidikan psikologis yang dirancang untuk menunjang perkembangan kepribadian para siswa dengan mengutamakan belajar dinamik-efektif yang menyangkut kepribadian nilai-nilai hidup dan sikap-sikap. Pelayanan bimbingan tidak hanyadibatasi pada mereka yang menghadap konselor sekolah, tetapi sampai pada semua siswa yang mengikuti pendidikan psikologis. Ini merupakan keunggulan modelnya. Namun, merencanakan dan melaksanakan suatu program kurikuler menuntut konselor menguasai metodik mengembangkan dan mengajarkan suatu bidang, termasuk penentuan tujuan instruksional, mengurutkan topic-topik (sequence), prosedur akan membuat siswa belajar aktif (CBSA), dan pilihan bahan yang relevan. Persyaratan ini kiranya hanya dapat dipenuhi, bila konselor sekolah khusus disiapkan untuk itu melalui pendidikan formal di perguruan tinggi.

11. Julius Menacker, (1976) mengembankan model bimbingan yang mengusahakan penganggulangan segala gejala pemberontakan yang tampak dalalm tingkah laku para siswa di sekolah yang terletak dalam daerah/bagian kumuh di kota besar. Daerah kumuh disini berarti daerah di mana kemiskinan, kejahatan, pelanggaran hukum, kenakalan remaja, dan penggunaan obat bius merajalela. Model ini menekankan usaha mengadakan perubahan dalam lingkungan hidup yang menghambat perkembangan yang optimal bagi siswa. Dalam pelayanan bimbingan tradisional focus perhatian terpusat pada siswa sendiri yang harus mengadakan perubahan dalam diri sendiri, dalam activist guidance focus perhatian terdapat pula pada lingkungan hidup siswa, yaitu bagaimana manipulasi dari lingkungan dapat menguntungkan perkembangan siswa. Maka, konselor sekolah bersama dengan siswa mengidentifikasi segala kondisi hidup negative yang ditimbulkan oleh lingkungan hidup, dan merencankan setumpuk tindakan konkret untuk mengubah lingkungan itu sehingga terciptakan kondisi positif, termasuk mengubah lingkungan sekolah bila hal itu dianggap perlu. Keunggulan model ini ialah pandangan tingkah laku seseorang sebaiknya dilihat sebagai hasil interaksi antara individu dengan lingkungan hidupnya. Konselor sekolah yang berpegang pada pola asli memanfaatkan semua sumber dan sarana dalam lingkungan masyarakat setempat, yang dapat mempengaruhi suasana hidup di suatu daerah. Kelemahan model ini ialah kenyataan, bahwa aksi-aksi perubahan social mudah menimbulkan berbagai ketegangan, bahkan pun sampai menciptakan konflik dengan tenaga-tenaga pendidik yang lain, karena lingkungan sekolah itu sendiri tidak akan luput dari aksi demi perubahan suasana dan kurikulum pengajaran.
Model-model berpikir yang diuraikan di atas ternyata belum dioperasionalkan di lapangan dan dituangkan dalam kerangka program bimbingan. Kecuali, model yang dideskripsikan oleh Hoyt, yaitu Constellation of Services. Kenyataan ini berarti bahwa masih terdapat jurang yang lebar antara pemikiran teoritis dan praktek pelaksanaan di lapangan. Alasannya adalah bahwa pelayanan bimbingan di sekolah berkembang menurut kebutuhan setempat, dan baru dibentuk konseptualisasi setelah praktek perkembangan untuk mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan serta memberikan landasan teoritis pada kegiatan-kegiatan bimbingan sudah mulai dilaksanakan. Pemikiran teoretis (theory building) baru menyusul sesudah pelayanan bimbingan mulai berjalan, bahwa pelayanan di lapangan tidak bermakna bagi perkembangan siswa, namun pelayanan bimbingan akan terhambat dalam perkembangannya, dan mendapat banyak sorotan negative karena lemah dalam hal refleksi teoretis.
Kehas berpandangan sejumlah faktor yang menghambat konseptualisasi dan pertanggungjawaban teoretos dari bimbingan di sekolah-sekolah di Amerika yaitu:
1. Organisasi profesional di bidang bimbingan lebih banyak memperhatikan layanan konseling daripada layanan bimbingan pada umumnya.
2. Perbedaan konseptual antara mengajar dan membimbing masih kabur.
3. Pelayanan bimbingan di sekolah lebih dikaitkan dengan bidang administrasi sekolah, sehingga fungsi khas dari bimbingan tinggal samar-samar saja.
4. Pemikirannya teoretis.
5. Terdapat anggapan.
Dikatakan di Indonesia masih terdapat suatu jurang yang cukup lebar antara praktek pelayanan bimbingan di lembaga sekolah dan pengembangan andalan landasan teoritis, yang sesuai dengan kondisi serta situasi pendidikan sekolah di suatu negara berkembang. Namun, telah diterapka pola Constellation of Services sebagaimana diuraikan di atas, meskipun pola tidak luput dari berbagai kelemahan dalam konseptualisasi.

A. Pola – pola Bimbingan dan Konseling

Yang dimaksud dengan pola dasar pelaksanaan bimbingan ialah suatu asas pokok untuk mengatur penyebaran pelayanan bimbingan di sekolah, dengan mempertimbangkan kegiatan-kegiatan bimbingan apa yang akan diadakan dan rangkaian kegiatan itu dilaksankan oleh siapa serta diberikan kepada siapa. Pola dasar ini lebih bersifat praktis, karena langsung berkaitan dengan penyusunan program bimbingan. Jadi suatu pola dasar melandasi perencanaan dan pelaksanaan suatu program bimbingan di sekolah. pola dasar tertentu dapat merupakan konkretisasi yang lebih bersifat praktis dari suatu model atau kerangka berpikir tertentu. Namun, dimungkinkan bahwa suatu pola dasar menampung lebih dari satu model, suatu pola dasar tertentu, sekali mulai diterapkan, mempunyai dampak terhadap pola organisasi dan administrasi kegiatan bimbingan di sekolah. jadi, pola dasar pelaksanaan bimbingan sedikit banyak berdiri di antara model bimbingan dan pola organisatoris bimbingan.
Model-model bimbingan dan konseling dan pola dasar bimbingan bermula dari gerakan bimbingan dan konseling di Amerika yang dikembangkan di sejumlah kerangka pikir yang menjadi pedoman dan pegangan dalam pelayanan di sekolah-sekolah. Istilah Model menurut Shertzer dan Stone (1981) yaitu suatu konseptualisasi yang luas, bersifat teoritis namun belum memenuhi semua persyaratan bagi suatu teori ilmiah. Model-model itu dikembangkan oleh orang tertentu untuk menghadapi tantangan yang timbul dalam kehidupan masyarakat dan lingkungan pendidikan sekolah di AS. Menurut hasil analisis Edward C Glanz dalam bukunya Foundations and Principles of Guidance, dalam sejarah perkembangan pelayanan bimbingan di institusi-institusi pendidikan muncul empat macam pola dasar yang diberi nama pola generalis (generalism), pola spesialis ( specialism), pola kulikuler (curuicular design), dan pola relasi-relasi manusiawi serta kesehatan mental (human relations and mental health), yakni :

1. Pola Generalis berasaskan keyakinan, bahwa corak pendidikan dalam suatu institusi pendidikan berpengaruh terhadap kuantitas usaha belajar siswa, dan seluruh staff pendidik dapat menyumbang pada perkembangan kepribadian masing- masing siswa. Pelayanan bimbingan melibatkan banyak tenaga pendidik. Tenaga pengajar rutin berhubungan dengan para siswa. Mereka meyisipkan aneka unsure bimbingan dalam pelajaran, dapat memberikan bimbingan kelompok, bahkan dapat menyelenggarakan wawancara konseling. Terdapat pula guru-konselor, yaitu tenaga pengajar yang sebagian waktunya khusus diperuntukkan bagi pelayanan bimbingan. Koordinasi seluruh kegiatan bimbingan diserahkan pada guru-konselor atau tenaga ahli bimbingan. Sumber tenaga ahli bimbingan anak-anak biasa, seperti Reality Therapy. Ada pendekatan yang dinilai terlalu kompleks untuk kebanyakan siswa dan mahasiswa pada masa sekarang, seperti sistematika yang dikembangkan oleh Carkhuff. Semua teori cenderung menuntut proses konseling yang agak lama sampai lama sekali, padahal proses konseling di suatu institusi pendidikan sulit untuk dibina selama beberapa bulan sampai satu tahun, karena waktu konselor dan konseli terbatas. Beberapa teori lebih mengarah ke Psikoterapi, yang diterapkan terhadap orang-orang yang mengalami gangguan kesehatan mental yang serius, seperti Psikoanalisis dan Psikologi Individual. Pembahasan mengikuti atas tiga kelompok pendekatan, yaitu pendekatan afektif, pendekatan kognitif dan pendekatan behavioristik, yakni :
• Pendekatan Afektif
Psikoanalisis (Psychoanalysis) bersumber pada sederetan pandangan Sigmund Freud dalam abad 20. Sesuai dengan perkembangan ilmu psikologi, para ahli memodifikasi menjadi Noe-Freudians, antara lain Carl Jung, Otto Rank, Wilhelm Reich, Karen Horney, Theodore Reih dan Harry Stack Sullivan. Terapi psikoanalitis membantu individu untuk mengatasi ketegangan psikis bersumber rasa cemas dan rasa terancam yang berlebihan (anxiety). Perasaan terpendam terhadap orang tertentu serta segala konflik yang dialami dalam berkomunikasi dengan pihak/orang itu, selama proses terapi dihidupkan kembali dan dilimpahkan pada konselor sebagai wakil dari pihak/orang itu (transference). Perasaan, pertentangan dan konflik yang sengaja ditimbulkan itu, kemudian diolah kembali dalam kehidupannya sampai sekarang. Kesadaran ini memungkinkan suatu perubahan keadaan dalam batin konseli dan dalam cara mengatur kehidupannya sendiri

1. Psikologi Individual
Aliran Psikologi Individual (Individual Psychology) dipelopori Alfred Adler dan dikembangkan sebagai sistematika terapi Rudolf Dreikurs dan Donald Dinkmeyer, dikenal dengan Adlerian Conselling. Perhatian utama diberikan pada kebutuhan seorang untuk menempatkan diri dalam kelompol sosialnya. Tiga konsep corak terapi ini adalah rasa rendah diri (inferiority feeling), usaha untuk mencapai keunggulan (striving for superiority), dan gaya hidup perseorangan (a person’s lifestyle). Manusia kerap mengalami rendah diri karena berbagai kelamahan dan kekurangan yang mereka alami, dan berusaha untuk menghilangkan ketidakseimbangan dalam diri sendiri melalui aneka usaha mencapai kompensasi terhadap rasa rendah diri, dengan mengejar kesempurnaan dan keunggulan dalam satu atau beberapa hal. Dengan demikian, manusia bermotivasi untuk menguasai siatusi hidupnya, sehingga puas dapat menunjukkan keunggulannya, paling sedikit dalam bayangannya sendiri. Selama proses terapi konselor mengumpulkan informasi kehidupan konseli di masa sekarang dan di masa lampau. Dari semua informasi konselor menggali perasaan rendah diri pada konseli yang bertahan sampai sekarang dan menemukan segala usahanya menutupi perasaannya melalui kompensasi, sehingga mulai tampak gaya hidup perseorangan. Selanjutnya konselor membantu konseli mengembangkan tujuan lebih membahagiakan dan merancang gaya hidup yang lebih konstruktif.


2. Terapi Gestalt
Terapi Gestalt (Gestalt Therapy) dikembangkan Frederick Perls. Konselor membantu konseli menghayati diri sendiri dalam situasi kehidupannya yang sekarang dan menyadari halangan yang diciptakan sendiri untuk merasakan serta meresapi makna dari konstelasi pengalaman hidup. keempat konsep pokok adalah penghayatan diri sendiri dalam situasi hidup yang konkret (awareness), tanggungjawab perseorangan (personal responsibility), keutuhan dan kebulatan kepribadian seseorang (unity of the person), dan penyadaran akan berbagai halangan yang menghambat penghayatan diri sendiri (blocked awareness). Konseli mengusahakan keterpaduan dan integrasi dari berpikir, berperasaan, dan berperilaku, yang mencakup semua pengalaman nyata pada saat sekarang. Konseli tidak boleh berbicara saja tentang kesulitan dan kesukaran yang dihadapi. Maka, konselor mendesak konseli menggali macam-macam perasaan yang belum terungkap secara jujur dan terbuka, seperti rasa jengkel, sakit hati, rasa dukacita dan sedih, rasa bersalah, rasa berdosa, kesal, atau diasingkan. Dengan bantuan konselor, konseli lalu mulai membuka jalan buntu dengan meninggalkan berbagai siasat mendapatkan simpati orang lain, dan mulai mengambil peranan lebih aktif mengatur kehidupannya sendiri. Terapi Gestalt membuat konseli merasa frustasi (berada di jalan buntu), tetapi frustasi itu dipandang sebagai landasan bagi usaha baru yang lebih konstruktif. Dengan kata lain, mengakui kegagalan dalam diri sendiri adalah cermin bagi diri sendiri pula.

3. Konseling Eksistensial
Aliran konseling Eksistensial (Existential Counseling) menenkankan implikasi dari falsafah hidup dalam menghayati makna kehidupan manusia di dunia yang mencakup kemampuan kesadaran diri; kebebasan untuk memilih dan menentukan nasib hidupnya sendiri; tanggungjawab pribadi; kecemasan sebagai unsure dasar dalam kehidupan batin; usaha untuk menemukan makna dari kehidupan manusia; keberadaan dalam komunikasi dengan manusia lain; kematian; serta kecenderungan dasar mengembangkan dirinya semaksimal mungkin. Konseli akan belajar dari konselor, yang mengkomunikasikan sikap hidup penuh rasa dedikasi terhadap tuntutan hidup sebagai tanggungjawab pribadi. Konseli diharapkan mampu mengatasi beraneka kesulitan dan bermacam tantantang dengan menempatkannya dalam kerangka sikap mendasar terhadap kehidupannya sebagai manusia, yang menerima relaita hidup sebagaimana adanya dan memperkaya diri sendiri melalui penghayatan makna kehidupannya. Konseli yang melibatkan diri sepenuhnya dalam hidup secara otentik (commitment to life), menentukan apa yang sebaiknya dilakukannya pada saat tertentu dalam kehidupannya.


2) Pendekatan Kognitif

a. Analisis Transaksional
Analisis transaksional (Transactional Analysis) menekankan pola interaksi antara orang-orang, baik yang verbal maupun nonverbal (transactions). Diterapkan dalam konseling individual, tetapi bermanfaat dalam konseling kelompok, karena konselor mendapat kesempatan langsung mengamati pola interaksi antar seluruh anggota kelompok. Tujuannya supaya konseli menjadi sadar akan seluruh hambatan yang diciptakannya sendiri dalam berkomunikasi dengan orang lain, serta kemudian mengembangkan suatu pola interaksi social yang sesuai dengan situasi dan kondisi, dengan menempatkan diri dalam keadaan diri yang memungkinkan proses komunikasi yang sehat. Thomas A. Harris mendeskripsikan empat sikap hidup terhadap diri sendiri dan orang lain, yaitu :
(1) I am okay-you are okay: sikap hidup seseorang yang mampu mengatur dirinya dengan baik dan membina kontak social yang memuaskan.
(2) I am okau-you are not okay: sikap hidup seseorang yang melimpahkan kesukarannya sendiri pada orang lain dan menyalahkan orang lain. Dia bersikap sombong dan menjauhkan diri dari orang lain.
(3) I am not okay-you are okay: sikap hidup seseorang yang merasa depresif dan takberdaya, disbanding dengan orang lain. Dia cenderung mengasingkan diri atau melayani orang lain untuk mendapakatkan pengakuan dan simpati.
(4) I am not okay-you are not okay: sikap hidup seseorang yang menyerah saja, tidak mempunyai harapan dan membiarkan dirinya dibawa oleh pasang surut kehidupan.

b. Sistematika Carkhuff
Ketiga fase dalam proses konseling, yaitu eksplorasi, pemahaman diri dan bertindak, didahului suatu fase persiapan, di mana konseli melibatkan diri dalam proses konseling (involment)


3) Pendekatan Behavioristik
a. Reality Therapy
Reality Therapy ialah suatu standar atau patokan obyektif, yang menjadi kenyataan atau realitas yang harus diterima. Realitas atau kenyataan berwujud suatu realitas praktis, realitas social atau realitas moral. Disoroti pada tingkah lakunya yang nyata, dievaluasi menurut kesesuaian atau ketidaksesuaianya dengan realitas yang ada. Dengan demikian, proses konseling bagi konseli menjadi pengalaman belajar menilai diri sendiri dan di mana perlu menggantikan tingkah laku yang keliru dengan tingkah laku yang tepat. Sampai taraf tertentu, konselor berperan sebagai seorang guru yang mengajarkan tata cara bertindak secara tanggungjawab, memberika pujian bilamana konseli mulai bertindak secara tepat, dan mencela bila konseli tidak bertindak secara bertanggungjawab. Konselor menolak untuk membela diri bila konseli tidak tanggungjawab itu, apalagi menimpakan kesalahannya sendiri pada orang lain atau situasi dan kondisi.
b. Multimodal Counseling
Pendekatan konseling memadukan berbagai unsure (multi) dari beberapa pendekatan yang tersedia (modal counseling), sehingga tercipta sistematika baru. Selama proses konselling perhatian konselor terpusatkan pada tujuh factor atau komponen dalam pola kehidupan konseli, yaitu perilaku nyata (behavior), alam perasaan (affect), proses persepsi melalui alat indera (sensation), konsep diri dalam berbagai aspeknya (imagery), keyakinan dan nilai-nilai dasar sebagai dalam berpikir dan menentukan sikap (cognition), hubungan antarpribadi dengan orang yang dekat (interpersonal relationships), dan keadaan fisik serta kesehatan jasmani (biological functioning). Setiap komponen atau mode ditinjau dan dibahas untuk mengumpulkan data yang relevan.

2. Pola Spesialis, bahwa pelayanan bimbingan di institusi pendidikan harus ditangani oleh ahli- ahli bimbingan yang masing- masing berkemampuan khusus dalam cara pelayanan bimbingan dan konseling.
3. Pola Kurikuler, bahwa pelayanan bimbingan dan konseling di institusi pendidikan diusulkan dimasukkan dalam kurikulum pengajaran khusus dalam rangka suatu kursus bimbingan.
4. Pola Relasi- Relasi Manusia dan Kesehatan Mental, bahwa orang akan lebih hidup bahagia apabila dapat menjaga kesehatan mentalnya dan membina hubungan baik dengan orang lain.


C. Pendekatan atau Strategi Dasar
Seorang ahli bernama Robert H. Mathewson (1962), berhasil membedakan tujuh pendekatan atau strategi dasar yang masing-masing pendekatan meupakan kontinum yang bipolar. Ketujuh strategi dasar itu adalah sebagai berikut :
1. Edukatif versus Direktif, yaitu satu sisi pelayanan bimbingan dipandang sebagai pengalaman belajar bagin siswa yang membantu mereka untuk menentukan sendiri pilihan-pilihannya.
2. Komulatif versus Pelayanan, yaitu satu sisi satu pelayanan bimbingan dilihat sebagai progam yang kontinyu dan bersambung-sambung.
3. Evaluasi diri versus oleh orang lain, yaitu satu sisi satu pelayanan bimbingan dirancang untuk membantu siswa menemukan diri dan evaluasi diri atas prakarsa sendiri.
4. Kebutuhan Individu versus Kebutuhan Lingkungan, yaitu disisi satu pelayanan bimbingan menekankan supaya kebutuhan-kebutuhan masing-masing siswa dipenuhi.
5. Penilaian Subyektif versus Penilaian Obyektif, yaitu disisi satu pelayanan bimbingan diarahkan ke penghayatan dan penafsiran siswa sendiri terhadap dirinya sendiri serta lingkungan hidupnya, disisi yang lain menitikberatkan pengumpulan data siswa dari sumber di luar siswa sendiri.
6. Komprehensif versus Berfokus pada satu aspek atau satu bidang saja, yaitu di satu sisi pelayanan bimbingan diprogamkan sedemikian rupa sehingga semua tantangan dan permasalahan di berbagai bidang kehidupan siswa tercakup di dalamnya.
7. Koordinatif versus Spesialistik, yaitu di satu sisi ditangani oleh sejumlah tenaga melakukan kerjasama secara koordinatif dalam memberikan bantuan dan berkedudukan sama dan harus bekerjasama erat dalam mendeskripsikan ciri-ciri suatu program bimbingan yang dilaksanakan pada institusi pendidikan, di sisi yang lain ditangani secara spesifik berdasarkan keahlian.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Program Bimbingan dan Konseling disekolah disusun dan diselenggarakan atas dasar kerangka berpikir dan pola dasar pelaksanaan tertentu.Secara teoritis ada berbagai model Bimbingan mulai dari Frank Parsons sampai Julius Menacker. Dimana disitu terdapat berbagai variasi yang tentu memiliki model tersendiri dalam melayani dan membantu kebutuhan siswa.jadi dapat dikatakan bimbingan itu bersifat luwes atau fleksibel dan tidak kaku sebab ada spesifikasinya dalam menaungi masalah atau bidang tertentu. Model-model bimbingan dan konseling dan pola dasar bimbingan dipakai sebagai pedoman dan pegangan dalam pelayanan bimbingan di sekolah-sekolah.
Sedangkan untuk pola – pola bimbingan menurut analisis Edward C. glanz, (1964) :
1. Pola generalis
2. Pola Spesialis
3. Pola Kurikuler
4. Pola Relasi-relasi Manusia dan Kesehatan Mental

Pendekatan atau Strategi dasar
• Edukatif versus Direktif
• Kumulatif versus Pelayanan
• Evaluasi diri versus orang lain
• Kebutuhan Individu versus Kebutuhan Lingkungan
• Penilaian Subyektif versus penilaian Obyektif
• Komperehensif versus berfokus pada satu aspek atau satu bidang saja
• Koordinatif versus Spesialistik


SARAN
Pola dan pelayanan bimbingan di sekolah sekolah memeliki peran yang sangat penting guna membina kepribadian mental siswa oleh karena itu kita sebagai calon pendidik hendaklah memahami pola dan pelayanan dari bimbingan dan konseling itu sendiri sebab nantinya kita jangan sampai salah menerapkan pola atau strategi dasar yang digunakan dalam bimbingan dan konseling. Sebab masalah, perkembangan serta karateristik seseorang itu berbeda- beda.
Mahasiswa sebagai calon pendidik harus benar-benar mengerti, memahami dan mengaplikasikan dengan baik pembahasan tentang model-model pelayanan bimbingan dan konseling, pola dasar bimbingan, pola-pola bimbingan, dan pendekatan atau strategi dasar pada bimbingan dan konseling. Dengan demikian, mahasiswa nantinya pada saat menjadi pendidik akan dapat menciptakan generasi muda dengan kebenaran dalam sikap dan perilaku yang juga akan berdampak bagi negara yaitu negara Indonesia mempunyai sumber daya manusia yang kompetitif di dunia internasional dan memajukan Indonesia dalam berbagai bidang. Mahasiswa sebagai calon pendidik harus benar-benar mengerti, memahami dan mengaplikasikan dengan baik pembahasan tentang model-model pelayanan bimbingan dan konseling, pola dasar bimbingan, pola-pola bimbingan, dan pendekatan atau strategi dasar pada bimbingan dan konseling. Dengan demikian, mahasiswa nantinya pada saat menjadi pendidik akan dapat menciptakan generasi muda dengan kebenaran dalam sikap dan perilaku yang juga akan berdampak bagi negara yaitu negara Indonesia mempunyai sumber daya manusia yang kompetitif di dunia internasional dan memajukan Indonesia dalam berbagai bidang.






DAFTAR PUSTAKA
Nurihsan, A. Juntika. 2006. Bimbingan dan Konseling dalam Berbagai Latar
Kehidupan. Bandung: Refika Aditama
Soetjipto dan Raflis Kosasi. 2004. Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta
Umar dan sartono. 2001. Bimbingan dan Penyuluhan. Bandung: Pustaka Setia
http://akhmadsudrajat.wordpress.com













Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEMELIHARAAN PREVENTIF POMPA BAHAN BAKAR MOTOR BENSIN

laporan praktek penyambungan